Senin, 23 November 2015

Pak Raden

 Beberapa hari lalu, di sebuah acara makan siang bersama beberapa kawan, saya mengatakan, betapa negara ini tidak pandai menghargai orang-orang hebat dan berjasa yang dimiliki negeri ini. Lantas saya pun menyebut satu nama untuk memberi contoh manusia luar biasa yang tidak memperoleh penghargaan yang layak.
"Drs Suyadi alias Pak Raden adalah salah satu contohnya," kata saya.
Lalu, saya pun bercerita saat saya mendokumentasikan beliau secara audiovisual di rumah kontrakannya di daerah Jakarta Timur pada tahun 2005, beberapa hari sebelum beliau menerima Anugerah Kebudayaan dari pemerintah. Saya tercenung cukup lama di ruang tamunya yang berantakan.
Mengunjungi rumah kontrakannya saat itu, di Jalan Kebon Nanas I/22, Jakarta Timur, rasanya negeri ini telah berlaku "kejam" kepadanya. Bayangkanlah, orang dengan talenta yang luar biasa dalam bidang kepenulisan, melukis, menggambar, mendongeng, membuat film, tetapi hidupnya masih jauh dari yang disebut makmur.
Tak ada barang mewah di rumah itu. Di ruang tamu cuma tampak pesawat televisi 14 inci. Lampu yang biasanya menerangi wajahnya kala ia merias wajahnya menjadi Pak Raden yang berkumis tebal dengan alis menjulang ke atas itu pun telah mati. Sementara itu, lampu penerangan di rumah tersebut memaksa pengguna kamera manual harus menurunkan speed-nya hingga pada angka 2 (dua) saat memotret.
Di rumah kontrakannya yang persis berseberangan dengan pasar tradisional itu, Drs Suyadi tinggal bersama Nanang. Namun, begitulah, kendati ia memiliki seorang pembantu, tampak betul jika rumah tinggal itu tak pernah mendapat sentuhan dari seorang perempuan.
Ya, hingga usia senja, tiada perempuan berada di sampingnya. Barangkali, memang begitulah suratan hidup Suyadi. Secara berseloroh, ia mengatakan, "Saya ini joko tuo sing ora payu rabi (jejaka tua yang tak laku kawin)."
Lihatlah seisi ruangan di rumah itu. Di ruang tamu, ruang makan, kamar, penuh dengan lukisan, sketsa, boneka, kertas yang berserakan, bekas cat, buku-buku, dan… kucing. Yang terakhir ini adalah makhluk "buangan" para tetangga yang sudah bosan dengan hewan piaraan itu.
"Ada sekitar 20, hasil 'sumbangan' para tetangga," kata Suyadi perihal hewan piaraannya itu.
Dia mengatakan, para tetangga itu biasanya mencemplungkan kucing-kucing tersebut melalui pagar rumah tinggalnya. Setelah diberi makan oleh Nanang, biasanya kucing-kucing itu betah tinggal di sana, bersama Suyadi dan Nanang.
Zaman demi zaman telah dilalui oleh Suyadi. Pada tiap zaman itu, Suyadi selalu menjumpai dunia anak-anak yang berbeda. Namun, katanya, kendati berbeda, anak tetaplah anak. Makhluk kecil yang harus disirami dengan kasih sayang. Lewat mendongeng dan buku-buku cerita hasil karyanya itulah, Suyadi menyirami jiwa anak-anak Indonesia.
Pemandangan rumah yang berantakan dan tak terawat ternyata masih terlihat beberapa tahun kemudian saat beliau telah pindah rumah tinggal. Rumah tinggalnya yang terakhir berada di gang sempit di daerah Petamburan, Slipi. Rumah bernomor 27 di RT 003 RW 04 gelap dan kusam. Halamannya yang tidak seberapa luas dipenuhi kaleng cat dan sisa-sisa kayu untuk membuat boneka. Kesan penuh juga ada di ruang tamu. Berbagai lukisan berekamkan cerita-cerita pewayangan dan boneka-boneka ciptaan Suyadi si Pak Raden memenuhi ruang itu.
Harus diakui, Pak Raden adalah tokoh multitalenta yang namanya terus bertahan hingga empat dekade. Sosok rekaan berwujud boneka yang berwatak feodal dalam film boneka Si Unyil yang pemarah dan selalu mengenakan belangkon serta tongkat. Sedemikian terkenalnya sosok Pak Raden sampai-sampai menenggelamkan nama Drs R Suyadi yang ada di balik karakter boneka berkumis yang suka berbahasa campur-campur, Jawa, Indonesia, dan Belanda.
***
Drs Suyadi adalah putra patih Surabaya di zaman Belanda yang lahir pada 28 November 1932 di Jember, Jawa Timur. Sebagai putra patih, ia dengan mudah menempuh pendidikan hingga lulus di Jurusan Seni Rupa Institut Teknologi Bandung pada 1960. Sebagai anak ketujuh dari sembilan bersaudara, putra patih (penjabat operasional yang mengatur sebuah pemerintahan kota), ini juga dengan mudah memenuhi kegemarannya menonton film-film Walt Disney.
Dari kegemarannya menonton film-film produk Walt Disney itulah, Suyadi mencintai dunia anak-anak sepanjang hidupnya. Karakter yang kuat dalam tiap tokoh Disney dinilai Suyadi amat luar biasa. Inilah yang kemudian mengilhami Suyadi membuat karakter-karakter nan kuat pada tiap tokoh yang ada pada film boneka Si Unyil.
Ada tokoh protagonis macam Si Unyil dan emaknya. Ada tokoh malas seperti Pak Ogah. Dan… tentu saja ada tokoh Pak Raden yang sombong, kikir, pemarah, feodal, dan terkena penyakit encok.
Menurut dia, dengan penokohan yang kuat pada sebuah lakon, tontonan itu tak membosankan. Ia pun lantas memberi contoh tokoh Cakil dalam seni pewayangan. Dia mengatakan, kendati tokoh Cakil itu jahat, buruk rupa, dan buruk budi, kemunculannya senantiasa dinanti banyak orang. Itulah soal Suyadi mengidolakan tokoh Cakil. Tak genap, kata dia, sebuah pertunjukan wayang tanpa kehadiran Cakil yang methakil (lincah).
Namun, Suyadi tentu saja tak selincah Cakil dalam gerak. Tetapi, soal kreativitas, ia mungkin sepadan dengan Cakil. Liar, nakal, dan penuh energi.
Sambil berjalan tertatih-tatih ia pun dengan garang memoleskan warna ke kanvas. Tak lama kemudian, ia pindah ke meja lainnya. Kini, tangannya lincah menggambar. Sambil menggambar, ia pun bercerita.
"Bangun Pak, mau kaya kok nggak mau kerja, malah tidur saja," kata Suyadi sambil menulis di bawah gambar yang baru selesai dibuatnya. "Apa? Kerja? Tak usah ya…" katanya lagi.
Lalu, Suyadi pun mengambil kertas kosong lainnya. Digambarinya lagi kertas itu dan diceritakannya kembali isi gambar sambil menulis kalimat di bawahnya.
Begitulah cara Suyadi menulis cerita. Ia menggambar dahulu sebelum menulis. Hasilnya adalah puluhan buku anak yang enak dibaca sekaligus enak dipandang.Seribu Kucing untuk KakekPedagang Peci KecurianGua TerlarangJoko Kendil, danSiapa Punya Kuali Panjang adalah di antara puluhan judul buku karya-karya Suyadi.
•••
Namun, kini Pak Raden telah pergi, membawa serta semua cerita bahagia dan duka. Bahagia lantaran dia adalah sahabat kanak-kanak sepanjang masa. Pedih karena negeri ini tak memberinya penghargaan yang layak.
Tentu kita masih ingat, saat beliau melakukan "protes keras" kepada pemerintah pada tahun 2012. Sebab, setelah lebih dari 30 tahun sejak Suyadi mencipta Unyil, hak cipta Unyil dan kawan-kawan dipegang PPFN melalui surat kontrak Nomor 139/P.PFN/XII/1995. Suyadi sama sekali tidak mendapatkan royalti dari setiap penggunaan karakter dalam serial Unyil. Suyadi hanya dibayar mengisi suara Pak Raden.
"Sebelum meninggal, saya ingin hak saya dikembalikan kepada saya," katanya dalam konferensi pers di kediamannya kala itu.
Dengan protesnya itu, Pak Raden berharap bisa menyadarkan para pegiat seni agar nasib seperti yang dialaminya tidak dirasakan oleh penerusnya. Surat perjanjian bertanda tangan tahun 1995 itu, menurut Pak Raden, memiliki jangka waktu kepemilikan hak cipta atas 11 karakter dalam serial Unyil. Namun, di surat perjanjian selanjutnya tidak lagi dicantumkan jangka waktu kepemilikan hak cipta.
Pak Raden pun tidak bisa berbuat apa-apa. Dia hanya bisa berjuang untuk hak cipta atas 11 karakter Unyil tersebut kepada Menteri BUMN waktu itu, Dahlan Iskan. Pertanyaannya, kenapa itu semua dilakukan sekarang? Dengan tenang, Pak Raden menjawab karena dia tidak lagi muda. Tidak seperti dulu ketika masih punya banyak sumber penghasilan. Kini, disiksa oleh encoknya, sulit baginya untuk bekerja seperti dulu lagi. "Saya tidak lagi bisa loncat ke sana loncat ke sini lagi," katanya.
Entahlah bagaimana kabar selanjutnya dari "protes" Pak Raden kala itu. Benar kata beliau, dia memang telah tua dan sakit-sakitan. Pada Jumat (30/10/2015) pukul 22.20 WIB, Pak Raden meninggal dunia dalam usia 82 tahun di Rumah Sakit Pelni, Petamburan, Jakarta Barat, karena mengalami infeksi pada paru kanan.
Selamat jalan Pak Raden...
 Sumber : http://nasional.kompas.com/read/2015/10/31/18520991/Kisah.Pak.Raden.dan.Negeri.yang.Tak.Peduli

Selasa, 17 November 2015

Sejarah Hidup Bj Habibie

Presiden ketiga Republik Indonesia, Bacharuddin Jusuf Habibie dilahirkan di Pare-Pare, Sulawesi Selatan, pada tanggal 25 Juni 1936. Beliau merupakan anak keempat dari delapan bersaudara, pasangan Alwi Abdul Jalil Habibie dan RA. Tuti Marini Puspowardojo. Habibie yang menikah dengan Hasri Ainun Habibie pada tanggal 12 Mei 1962 ini dikaruniai dua orang putra yaitu Ilham Akbar dan Thareq Kemal. Masa kecil Habibie dilalui bersama saudara-saudaranya di Pare-Pare, Sulawesi Selatan. Sifat tegas berpegang pada prinsip telah ditunjukkan Habibie sejak kanak-kanak. Habibie yang punya kegemaran menunggang kuda dan membaca ini dikenal sangat cerdas ketika masih menduduki sekolah dasar, namun ia harus kehilangan bapaknya yang meninggal dunia pada 3 September 1950 karena terkena serangan jantung saat ia sedang shalat Isya.

Tak lama setelah ayahnya meninggal, Ibunya kemudian menjual rumah dan kendaraannya dan pindah ke Bandung bersama Habibie, sepeninggal ayahnya, ibunya membanting tulang membiayai kehidupan anak-anaknya terutama Habibie, karena kemauan untuk belajar Habibie kemudian menuntut ilmu di Gouvernments Middlebare School. Di SMA, beliau mulai tampak menonjol prestasinya, terutama dalam pelajaran-pelajaran eksakta. Habibie menjadi sosok favorit di sekolahnya.

Karena kecerdasannya, Setelah tamat SMA di bandung tahun 1954, beliau masuk di ITB (Institut Teknologi Bandung), Ia tidak sampai selesai disana karena beliau mendapatkan beasiswa dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan untuk melanjutkan kuliahnya di Jerman, karena mengingat pesan Bung Karno tentang pentingnya Dirgantara dan penerbangan bagi Indonesia maka ia memilih jurusan Teknik Penerbangan dengan spesialisasi Konstruksi pesawat terbang di  Rhein Westfalen Aachen Technische Hochschule (RWTH)Ketika sampai di Jerman, beliau sudah bertekad untuk sunguh-sungguh dirantau dan harus sukses, dengan mengingat jerih payah ibunya yang membiayai kuliah dan kehidupannya sehari-hari. Beberapa tahun kemudian, pada tahun 1955 di Aachean, 99% mahasiswa Indonesia yang belajar di sana diberikan beasiswa penuh. Hanya beliaulah yang memiliki paspor hijau atau swasta dari pada teman-temannya yang lain Musim liburan bukan liburan bagi beliau justru kesempatan emas yang harus diisi dengan ujian dan mencari uang untuk membeli buku. Sehabis masa libur, semua kegiatan disampingkan kecuali belajar. Berbeda dengan teman-temannya yang lain, mereka; lebih banyak menggunakan waktu liburan musim panas untuk bekerja, mencari pengalaman dan uang tanpa mengikuti ujian.
Beliau mendapat gelar Diploma Ing, dari Technische Hochschule, Jerman tahun 1960 dengan predikat Cumlaude (Sempurna) dengan nilai rata-rata 9,5, Dengan gelar insinyur, beliau mendaftar diri untuk bekerja di Firma Talbot, sebuah industri kereta api Jerman. Pada saat itu Firma Talbot membutuhkan sebuah wagon yang bervolume besar untuk mengangkut barang-barang yang ringan tapi volumenya besar. Talbot membutuhkan 1000 wagon. Mendapat persoalan seperti itu, Habibie mencoba mengaplikasikan cara-cara kontruksi membuat sayap pesawat terbang yang ia terapkan pada wagon dan akhirnya berhasil.

Setelah itu beliau kemudian melanjutkan studinya untuk gelar Doktor di Technische Hochschule Die Facultaet Fuer Maschinenwesen Aachean kemudian Habibie menikah pada tahun 1962 dengan Hasri Ainun Habibie yang kemudian diboyong ke Jerman, hidupnya makin keras, di pagi-pagi sekali Habibie terkadang harus berjalan kaki cepat ke tempat kerjanya yang jauh untuk menghemat kebutuhan hidupnya kemudian pulang pada malam hari dan belajar untuk kuliahnya, Istrinya Nyonya Hasri Ainun Habibie harus mengantri di tempat pencucian umum untuk mencuci baju untuk menhemat kebutuhan hidup keluarga. Pada tahun 1965 Habibie mendapatkan gelar Dr. Ingenieur dengan penilaian summa cumlaude (Sangat sempurna) dengan nilai rata-rata 10 dari Technische Hochschule Die Facultaet Fuer Maschinenwesen Aachean.

Rumus yang di temukan oleh Habibie dinamai "Faktor Habibie" karena bisa menghitung keretakan atau krack propagation on random sampai ke atom-atom pesawat terbang sehingga ia di juluki sebagai "Mr. Crack". Pada tahun 1967, menjadi Profesor kehormatan (Guru Besar) pada Institut Teknologi Bandung. dari tempat yang sama tahun 1965. Kejeniusan dan prestasi inilah yang mengantarkan Habibie diakui lembaga internasional di antaranya, Gesselschaft fuer Luft und Raumfahrt (Lembaga Penerbangan dan Angkasa Luar) Jerman, The Royal Aeronautical Society London (Inggris), The Royal Swedish Academy of Engineering Sciences (Swedia), The Academie Nationale de l'Air et de l'Espace (Prancis) dan The US Academy of Engineering (Amerika Serikat). Sementara itu penghargaan bergensi yang pernah diraih Habibie di antaranya, Edward Warner Award dan Award von Karman yang hampir setara dengan Hadiah Nobel. Di dalam negeri, Habibie mendapat penghargaan tertinggi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Ganesha Praja Manggala Bhakti Kencana.

Langkah-langkah Habibie banyak dikagumi, penuh kontroversi, banyak pengagum namun tak sedikit pula yang tak sependapat dengannya. Setiap kali, peraih penghargaan bergengsi Theodore van Karman Award, itu kembali dari “habitat”-nya Jerman, beliau selalu menjadi berita. Habibie hanya setahun kuliah di ITB Bandung, 10 tahun kuliah hingga meraih gelar doktor konstruksi pesawat terbang di Jerman dengan predikat Summa Cum laude. Lalu bekerja di industri pesawat terbang terkemuka MBB Gmbh Jerman, sebelum memenuhi panggilan Presiden Soeharto untuk kembali ke Indonesia.

Di Indonesia, Habibie 20 tahun menjabat Menteri Negara Ristek/Kepala BPPT, memimpin 10 perusahaan BUMN Industri Strategis, dipilih MPR menjadi Wakil Presiden RI, dan disumpah oleh Ketua Mahkamah Agung menjadi Presiden RI menggantikan Soeharto menjadi Presiden Republik Indonesia ke 3. Soeharto menyerahkan jabatan presiden itu kepada Habibie berdasarkan Pasal 8 UUD 1945. Sampai akhirnya Habibie dipaksa pula lengser akibat refrendum Timor Timur yang memilih merdeka. Pidato Pertanggungjawabannya ditolak MPR RI. Beliau pun kembali menjadi warga negara biasa, kembali pula hijrah bermukim ke Jerman.

Saya bilang ke Presiden, kasih saya uang 500 juta Dollar dan N250 akan menjadi pesawat yang terhebat yang mengalahkan ATR, Bombardier, Dornier, Embraer dll dan kita tak perlu tergantung dengan negara manapun. Tapi keputusan telah diambil dan para karyawan IPTN yang berjumlah 16 ribu harus mengais rejeki di negeri orang dan gilanya lagi kita yang beli pesawat negara mereka!

Pada tanggal 22 Mei 2010, Hasri Ainun Habibie, istri BJ Habibie, meninggal di Rumah Sakit Ludwig Maximilians Universitat, Klinikum, Muenchen, Jerman. Ia meninggal pada hari Sabtu pukul 17.30 waktu setempat atau 22.30 WIB. Kepastian meninggalnya Hasri Ainun dari kepastian Ali Mochtar Ngabalin, mantan anggota DPR yang ditunjuk menjadi wakil keluarga BJ Habibie. Ini menjadi duka yang amat mendalam bagi Mantan Presiden Habibie dan Rakyat Indonesia yang merasa kehilangan. Bagi Habibie, Ainun adalah segalanya. Ainun adalah mata untuk melihat hidupnya. Bagi Ainun, Habibie adalah segalanya, pengisi kasih dalam hidupnya. Namun setiap kisah mempunyai akhir, setiap mimpi mempunyai batas.
"Selama 48 tahun saya tidak pernah dipisahkan dengan Ainun, .......ibu Ainun istri saya. Ia ikuti kemana saja saya pergi dengan penuh kasih sayang dan rasa sabar. Dik, kalian barangkali sudah biasa hidup terpisah dengan istri, you pergi dinas dan istri di rumah, tapi tidak dengan saya. Gini ya............saya mau kasih informasi........... Saya ini baru tahu bahwa ibu Ainun mengidap kanker hanya 3 hari sebelumnya, tak pernah ada tanda-tanda dan tak pernah ada keluhan keluar dari ibu........." Papar BJ Habibie.
Pada Awal desember 2012, sebuah film yang berjudul "Habibie dan Ainun" diluncurkan, film ini Mengangkat kisah nyata tentang romantisme kedua saat remaja hingga menjadi suami istri dan saat ajal memisahkan mereka. Film yang diambil dari buku terlaris karya BJ Habibie, Film ini di garap oleh dua sutradara yaitu Faozan Rizal dan Hanung Bramantyo, dengan pemeran Reza Rahardian sebagai Habibie dan Bunga Citra Lestari sebagai Ainun Habibie.

Sumber : http://berbagaisejarahdidunia.blogspot.co.id/2013/03/sejarah-hidup-bj-habibi.html

Sikancil Yang Cerdik dan Buaya

Si Kancil Dan Buaya

sikancil tengah kehausan, dia berusaha mencari air, sebagai pelepas dahaga, maka di temukan olehnya sebuah sungai dan lan langsung meminum nya, dia tidak menyadari bahaya yang sedang mengintai dirinya, saking hausnya si kancil berlama-lama tidak kefikiran jika ada beberapa ekor buaya sedamg mengintai nya, kemudian menyergap bagian kakinya. Sikancil kaget bukan main barulah sadar kini, bahaya telah mengincarnya.
“hohoho, teman-teman kita dapat makanan segar, ayo kita santap bersama, sama” kata buaya pertama yang berhasil menggigit kakinya,“aku pengen bagian kepalanya yang segar itu” kata buaya kedua
“kalau aku bagian kakinya saja sisakan buatku kawan” buaya ketiga menambahkan
“Badan nya kita bagi berempat, alangkah empuk dan wanginya, ayo teman-teman secepatnya kita santap makanan kita, tunggu apalagi” mendengar hal itu si kancil meronta sekuat tenaga, mencoba untuk meloloskan diri, namun kiranya cengkraman buaya itu begitu kuat sehingga susah baginya untuk melawan dengan tenaga nya, sikancil terdiam sejenak. Ide segarpun datang seketika dalam fikiran nya.
“Wahai teman-teman buayaku yang gagah perkasa, kalian tentunya sangat bernafsu untuk memakan bagian-bagian dari tubuhku ini bukan. tidak adil rasanya jika tubuhku yang gemuk ini, diperebutkan sehingga ada diantara kalian tidak kebagian. Nah maka dari itu cepat kalian berbaris dari ujung sungai sana sampai ujung sini, aku mau menghitung jumlah kalian, sebelum memakan aku, dengan menghitungnya kalian bisa mendapat bagian yang sama” kata sikancil dengan cerdik, mencoba membodohi buaya-buaya itu.
“benar juga ucapan mangsa kita itu ayo cepat kalian berbaris” kancil senang sekali karena rencana nya berjalan dengan lancer. Buaya-buaya itupun berbaris sesuai dengan apa yang ia perintahkan. Si kancil kemudian melompati punggung-punggung buaya itu, sambil menghitung di tiap lompatannya.
“ Satu!, Dua!, Tiga!, Empat! Lima! Enam!, Tujuh,…… Sepulah!!!!!!!!!!” dihitungan kesepuluh itulah si kancil sudah berada diseberang sungai, berlari memasuki hutan, dengan kecerdikan nya dia berhasil lolos dari bahaya yang mengancamya, buaya-buaya itu baru sadar kalau mereka telah ditipu oleh calon mangsanya itu.

Sumber : http://www.sastraku.com/2014/09/sikancil-yang-cerdik-dan-buaya-yang-bodoh.html

Perjuangan Arek Suroboyo

Arek Suroboyo Pantang Menyerah Melawan Sekutu

SEJARAH perjuangan arek-arek surabaya telah banyak ditulis dan masyarakat Indonesia telah mengetahui mengapa kota surabaya disebut “Kota Pahlawan”. Bagaimana dahsyatnya pertempuran pada saat itu dalam mempertahankan kehormatan serta martabat Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang telah memproklamirkan kemerdekaannya sejak tanggal 17 agustus 1945.

Prahara perang kemerdekaan yang pecah pada tanggal 10 November 1945 sebagai konsekwensi mempertahankan tetap berkibarnya sang Merah Putih, putra putri Indonesia dengan segenap rakyat Surabaya mengangkat senjata dan bertempur melawan sekutu.
Setiap tanggal 10 November kita memperingati Hari Pahlawan, sebagai penghargaan kita kepada para pahlawan yang gugur dalam membela dan menegakkan kemerdekaan. Hari Pahlawan tanggal 10 November ini diangkat dari sikap dan tindak kepahlawanan yang terjadi di kota Surabaya. Tindak kepahlawanan di Surabaya ini pada hakekatnya adalah manifestasi dari jiwa-jiwa yang mendambakan kemerdekaan yang abadi bagi bangsanya, yang disertai keberanian mengatasi pelbagai kesulitan, tantangan, tekanan fisik maupun moral.
Oleh karena itu peristiwa tanggal 10 November 1945 di Surabaya ini bukanlah suatu peristiwa yang bersifat “kebetulan” melainkan suatu pernyataan sikap yang murni dari arek-arek surabaya yang berjiwa pantang dihina dan ditantang, apalagi oleh penjajah. Mereka menyadari bahwa masalah yang dihadapi adalah masalah harga diri bangsa Indonesia, yang bagi mereka adalah masalah yang teramat prinsipal.

Kini peristiwa itu telah berlalu, sebagai penghormatan yang layak bagi jasa-jasa dan pengorbanan mereka, wajar bila kita memperingati peristiwa Hari pahlawan 10 November 1945, ini dengan penuh khidmat yang disertai dengan amal perbuatan dan suri teladan serta nilai-niali perjuangannya untuk mengisi kemerdekaan melalui Pembangunan Nasional, dan menegakkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi Negara.
10 November 1945, tanggal terjadinya pertempuran Surabaya, adalah salah satu tanggal bersejarah bagi rakyat Indonesia. Bahkan, sejarawan dunia menyebutkan pertempuran 10 November 1945 sebagai salah satu pertempuran terdahsyat di dunia setelah Perang Dunia II. Satu pertempuran terbesar dan terberat dalam sejarah Revolusi Nasional Indonesia yang menjadi simbol nasional atas perlawanan Indonesia terhadap kolonialisme. Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 merupakan tonggak sejarah lahirnya negara Indonesia. Beberapa daerah di Indonesia yang sejak 1928 ingin bersatu dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia menyambut baik adanya Proklamasi Kemerdekaan yang dikumandangkan di kota Jakarta. Warga Surabaya pun turut larut dalam euforia menyambut kebebasan dari penjajah Jepang.

Setelah kekalahan pihak Jepang, rakyat dan pejuang Indonesia berupaya melucuti senjata para tentara Jepang. Maka timbullah pertempuran-pertempuran yang memakan korban di banyak daerah. Ketika gerakan untuk melucuti pasukan Jepang sedang berkobar, tanggal 15 September 1945, tentara Inggris mendarat di Jakarta, kemudian mendarat di Surabaya pada tanggal 25 Oktober 1945. Tentara Inggris datang ke Indonesia tergabung dalam AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) atas keputusan dan atas nama Blok Sekutu, dengan tugas untuk melucuti tentara Jepang, membebaskan para tawanan perang yang ditahan Jepang, serta memulangkan tentara Jepang ke negerinya. Namun selain itu tentara Inggris yang datang juga membawa misi mengembalikan Indonesia kepada administrasi pemerintahan Belanda sebagai negeri jajahan Hindia Belanda. NICA (Netherlands Indies Civil Administration) ikut membonceng bersama rombongan tentara Inggris untuk tujuan tersebut. Hal ini memicu gejolak rakyat Indonesia dan memunculkan pergerakan perlawanan rakyat Indonesia di mana-mana melawan tentara AFNEI dan pemerintahan NICA.

Setelah munculnya maklumat pemerintah Indonesia tanggal 31 Agustus 1945 yang menetapkan bahwa mulai 1 September 1945 bendera nasional Sang Saka Merah Putih dikibarkan terus di seluruh wilayah Indonesia, gerakan pengibaran bendera tersebut makin meluas ke segenap pelosok kota Surabaya. Klimaks gerakan pengibaran bendera di Surabaya terjadi pada insiden perobekan bendera di Hotel Yamato. Sekelompok orang Belanda di bawah pimpinan Mr. W.V.Ch. Ploegman mengibarkan bendera Belanda (Merah-Putih-Biru), tanpa persetujuan Pemerintah RI Daerah Surabaya, di tiang pada tingkat teratas Hotel Yamato, sisi sebelah utara. Keesokan harinya para pemuda Surabaya melihatnya dan menjadi marah karena mereka menganggap Belanda telah menghina kedaulatan Indonesia, hendak mengembalikan kekuasan kembali di Indonesia, dan melecehkan gerakan pengibaran bendera Merah Putih yang sedang berlangsung di Surabaya.
Setelah insiden di Hotel Yamato tersebut, pada tanggal 27 Oktober 1945 meletuslah pertempuran pertama antara Indonesia melawan tentara Inggris . Serangan-serangan kecil tersebut di kemudian hari berubah menjadi serangan umum yang banyak memakan korban jiwa di kedua belah pihak Indonesia dan Inggris, sebelum akhirnya Jenderal D.C. Hawthorn meminta bantuan Presiden Sukarno untuk meredakan situasi.

Melihat kondisi semakin tidak kondusif di kota Surabaya, pada tanggal 25 Oktober 1945 Sekutu mengirim 6.000 pasukan yang dipimpin oleh Brigadir Jenderal Mallaby. Pasukan Mallaby ini dikenal dengan nama “The Fighting Cook”. Namun kedatangan pasukan Mallaby ini tidak menciutkan nyali para pejuang Surabaya. Keberanian mereka justru semakin bergelora, apalagi mereka telah mendapatkan rampasan senjata cukup banyak, ditambah adanya pemimpin yang mengomado perlawanan berikut media radio yang sangat besar peranannya. Pasukan Mallaby terdesak hingga nyaris musnah semuanya, sebagaimana diceritakan oleh sejarawan Inggris Donnison dalam bukunya “The Fighting Cook”. Pimpinan Tertinggi Tentara Sekutu Jendral Hawthron akhirnya meminta bantuan pimpinan tertinggi Indonesia Bung Karno dan Bung Hatta untuk meredam perlawanan arek-arek Suroboyo.

Setelah gencatan senjata antara pihak Indonesia dan pihak tentara Inggris ditandatangani tanggal 29 Oktober 1945, keadaan berangsur-angsur mereda. Walaupun begitu tetap saja terjadi bentrokan-bentrokan bersenjata antara rakyat dan tentara Inggris di Surabaya. Bentrokan-bentrokan bersenjata di Surabaya tersebut memuncak dengan terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby. Tewasnya Mallaby saat gencatan senjata berlangsung menambah murka pihak Sekutu. Mereka akhirnya mengirim armada terbesarnya setelah Perang Dunia II ke pelabuhan Surabaya.
Armada berkekuatan 15.000 personel dari Divisi 5 plus 6.000 personel dari Brigade 49 The Fighting Cook itu diangkut dengan sejumlah kapal perang dan kapal terbang. Pihak Sekutu memberikan peringatan keras kepada seluruh warga Surabaya agar menyerahkan senjata kepada Sekutu. Mereka juga mengultimatum agar seluruh laki-laki menyerahkan diri, dengan ancaman hukuman mati apabila tetap melawan. Tantangan Sekutu ditanggapi dengan gagah berani oleh warga Surabaya. Bung Tomo pun meneriakkan pidato yang semakin membakar semangat arek-arek Suroboyo untuk lepas dari belenggu penjajahan, meskipun harus membayarnya dengan tetesan darah bahkan nyawa.
Dalam perlawanan ini, pihak Indonesia mengerahkan lebih dari 20.000 tentara terlatih TNI dan alumni tentara didikan Jepang. Tercatat pula sekitar 130.000 rakyat sipil yang terpanggil jiwanya untuk berjihad membela bangsa turut ambil bagian dalam perjuangan ini. Saat itu, perlawanan bukan lagi milik warga Surabaya, tapi menjadi milik seluruh bangsa Indonesia, baik laki-laki maupun perempuan. Para ulama memfatwakan wajib jihad ke Surabaya bagi laki-laki yang sudah dewasa dan mampu. Bung Tomo sendiri bahkan membentuk pasukan bom bunuh diri yang khusus dilatih untuk meledakkan tank-tank tentara Sekutu.

Dahsyatnya pertempuran Surabaya dilukiskan oleh sejarawan asing David Welch dalam bukunya, Birth of Indonesia. Di pusat kota, pertempuran terjadi lebih ganas lagi. Suasana bertambah dramatis dengan pemandangan mayat-mayat manusia serta bangkai-bangkai hewan bergelimpangan di sungai dan selokan. Pecahan beling, gelas, dan perabotan rumah tangga. Kawat-kawat telepon yang putus, berserakan dan bergelantungan di sana-sini. Suara pertempuran di kejauhan demikian mencekam, bergema dalam gedung-gedung kosong. Pertempuran berlangsung selama tiga pekan. Pada akhir bulan November 1945, seluruh kota telah jatuh ke tangan Sekutu. Menurut Ricklefs (2008), sedikitnya ada 6.000 rakyat Indonesia yang gugur dalam pertempuran ini. Sedangkan dari pihak Sekutu, tercatat sekitar 1.000 orang tewas.

Bung Tomo, Tokoh Pahlawan 10 November
Berita Proklamasi Kemerdekaan pertama kali diketahui oleh Bung Tomo, Yacob, dan R.Sumadi.Bung Tomo kemudian membuat pengumuman yang ditempel di depan kantor berita Domei dan bisa dibaca oleh rakyat.Pasca menerima berita Proklamasi dengan segera di Surabaya diadakan peralihan pemerintahan dan perebutan senjata dari Jepang. Bung Tomo turut serta dalam perundingan dengan pihak Jepang dalam rangka mendapatkan persenjataan dari Jepang.
Bung Tomo ikut andil dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia di Surabaya. Bung Tomo membentuk BPRI(Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia) yang bertujuan menampung para rakyat untuk bersiap menghadapi datangnya pasukan Inggris dan NICA. Pembentukan BPRI ini berawal dari rasa kecewa Bung Tomo ketika melihat kondisi Ibukota Jakarta, dimana orang-orang Belanda maupun Sekutu bebas berkeliaran di jalanan Ibukota.BPRI mempunyai senjata ampuh dalam menggerakkan massa,yaitu Radio Pemberontakan. Pidato Bung Tomo di Radio Pemberontakan berhasil memberikan semangat kepada rakyat untuk terus berjuang mempertahankan kemerdekaan di Surabaya. Berkat Radio Pemberontakan ini terjalin komunikasi antar laskar pejuang.

ketika pada Oktober dan November 1945, ia berusaha membangkitkan semangat rakyat sementara Surabaya diserang habis-habisan oleh tentara-tentara NICA. Sutomo terutama sekali dikenang karena seruan-seruan pembukaannya di dalam siaran-siaran radionya yang penuh dengan emosi, “Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!”. Bung Tomo mengangkat moral penduduk Surabaya lewat radio, meneriakkan dengan lantang slogan-slogan “Merdeka atau Mati”.
Atas latar belakang dan pembentukan karakter di masa mudanya maka Sutomo telah menjadi salah satu dari sekian sedikit agitator yang pernah dimiliki oleh bangsa ini. Meskipun Indonesia kalah dalam pertempuran 10 November itu, kejadian ini tetap dicatat sebagai salah satu peristiwa terpenting dalam sejarah Indonesia dengan Sutomo sebagai agitator yang berhasil dalam sejarah.
Kebesaran arti pertempuran Surabaya, yang kemudian dikukuhkan sebagai Hari Pahlawan, bukanlah hanya karena begitu banyaknya pahlawan – baik yang dikenal maupun tidak di kenal yang telah mengorbankan diri demi Republik Indonesia. Bukan pula hanya karena lamanya pertempuran secara besar-besaran dan besarnya kekuatan lawan. Di samping itu semua, kebesaran arti pertempuran Surabaya juga terletak pada peran dan pengaruhnya, bagi jalannya revolusi waktu itu. Pertempuran Surabaya telah dapat menggerakkan rakyat banyak untuk ikut serta, baik secara aktif maupun pasif, dalam perjuangan melawan musuh bersama waktu itu, yaitu tentara Inggris yang melindungi (menyelundupkan) NICA ke wilayah Indonesia.

Nilai kepahlawanan adalah suatu keyakinan mengenai cara bertingkah laku dan tujuan yang diinginkan seorang pejuang bangsa dan digunakan sebagai prinsip atau standar dalam hidupnya. Perjuangan 10 November merupan perjuangan yang membangkitkan semangat juang rakyat Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan Bangsa. Nilai-nilai kepahlawanan dijadilan dalam landasan untuk membentuk karakter bangsa.

Sumber : http://poskotanews.com/2015/11/10/arek-suroboyo-pantang-menyerah-melawan-sekutu/

Bandung Lautan Api

Peristiwa Bandung Lautan Api


Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/mariahardayanto/mohammad-toha-pahlawan-bandung-lautan-api_551905eaa33311bc13b65946



Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/mariahardayanto/mohammad-toha-pahlawan-bandung-lautan-api_551905eaa33311bc13b65946
terjadi karena pasukan Inggris mulai memasuki kota Bandung sejak pertengahan bulan Oktober 1945. Di Bandung, pasukan Inggris dan NICA melakukan teror terhadap rakyat sehingga mengakibatkan terjadinya pertempuran.  Menjelang bulan November 1945, pasukan NICA semakin merajalela di  Bandung. Setelah masuknya tentara Inggris yang berasal dari satuan NICA memanfaatkannya untuk mengembalikan  kekuasaannya atas kota Bandung. Hal ini menyebabkan semangat juang rakyat dan para pemuda yang tergabung dalam TKR dan badan-badan perjuangan lainnya semakin berkobar.
Pertempuran besar dan kecil terus berlangsung di Bandung. Malapetaka lain juga terjadi di Bandung, yaitu dengan jebolnya bendungan Sungai Cikapundung yang menimbulkan bencana banjir besar di kota Bandung. Peristiwa itu terjadi pada malam hari tanggal 25 November 1945. Pada saat itu kota Bandung dibagi menjadi dua, yaitu pasukan Sekutu menduduki daerah Bandung Utara dan Bandung Selatan menjadi daerah Republik Indonesia. Jebolnya tanggul sungai itu dikaitkan dengan aksi teror yang dilakukan oleh NICA sehingga menimbulkan amarah rakyat dan mereka melakukan aksi pembalasan.

Sesuai dengan kebijakan politik diplomasi, pihak Republik Indonesia mengosongkan daerah Bandung Utara. Namun, karena Sekutu menuntut pengosongan sejauh sebelas kilometer dari Bandung Selatan, akibatnya meletus pertempuran dan aksi bumi hangus di segenap penjuru kota. Kota Bandung terbakar hebat dari batas timur Cicadas sampai dengan batas barat Andir. Satu juta jiwa penduduk kota Bandung menyingkir ke luar kota. Pada tanggal 23 dan 24 Maret 1946 mereka meninggalkan kota Bandung yang telah menjadi lautan api. Peristiwa itu diabadikan dalam lagu Halo-Halo Bandung. Tokoh pejuang dalam pertempuran Bandung itu, di antaranya: Aruji Kertawinata, Sutoko, Nawawi Alib, Kolonel Hidayat, Oto Iskandardinata, dan Kolonel A.H. Nasution (Panglima Divisi Jawa Barat).

Pahlawan Bandung Selatan

Sementara itu, benteng NICA yang terletak di Dayeuh Kolot, Bandung Selatan dikepung oleh para pejuang Bandung sebagai taktik menghancurkan daerah itu. Dalam pertempuran itu, seorang pemuda yang bernama Toha siap berjibaku untuk menghancurkan gudang mesiu dengan membawa alat peledak. Toha menyelundup dan meledakkan diri sehingga hancurlah gudang mesiu milik  NICA. Toha gugur dalam menjalankan tugasnya untuk bangsa dan Negara. Peristiwa tersebut difilmkan dengan judul Toha Pahlawan Bandung Selatan. Sebagai peringatan kejadian ini juga telah dibangun tugu Bandung lautan api.

Sumber → http://jagosejarah.blogspot.co.id/2014/09/bandung-lautan-api.html






Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/mariahardayanto/mohammad-toha-pahlawan-bandung-lautan-api_551905eaa33311bc13b65946


Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/mariahardayanto/mohammad-toha-pahlawan-bandung-lautan-api_551905eaa33311bc13b65946


Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/mariahardayanto/mohammad-toha-pahlawan-bandung-lautan-api_551905eaa33311bc13b65946


Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/mariahardayanto/mohammad-toha-pahlawan-bandung-lautan-api_551905eaa33311bc13b65946ss


Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/mariahardayanto/mohammad-toha-pahlawan-bandung-lautan-api_551905eaa33311bc13b65946


Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/mariahardayanto/mohammad-toha-pahlawan-bandung-lautan-api_551905eaa33311bc13b65946
“Pahlawan adalah mereka yang telah melampaui dirinya, mau bekerja untuk kebesaran bangsanya dan bekerja keras untuk orang lain” (Anhar Gonggong – Sejarawan Universitas Indonesia) Setiap tanggal 24 Maret masyarakat kota Bandung memperingati Bandung Lautan api dalam bentuk napak tilas dari satu titik yang ditentukan panitia, menuju Bandung Selatan dan masuk kembali ke pusat kota Bandung. Sewaktu kuliah beberapa kali penulis mengikuti even ini, dan diteruskan oleh anak-anak karena mereka mendapat tugas dari gurunya. Tetapi kami (penulis dan anak-anak) tidak pernah mampu menyelesaikan target long march. Gugur dan naik angkutan umum pulang ke rumah ^_^ Berat memang perjalanan yang harus ditempuh. Terbayang di tahun 1946 penduduk Bandung harus berjalan keluar Bandung karena kota Bandung di bumihanguskan. Berjalan dalam gulita dengan bekal seadanya, ketakutan karena bunyi ledakan serta kebakaran yang menimbulkan suasana mencekam. Semuanya berawal dari ultimatum tentara sekutu untuk mengosongkan kota Bandung Selatan sesudah mereka merebut Bandung Utara. Tujuannya untuk dijadikan markas strategis militer. Keputusan diambil Kolonel Abdoel Haris Nasoetion selaku Komandan Divisi III Tentara Republik Indonesia (TRI) melalui musyawarah Madjelis Persatoean Perdjoeangan Priangan (MP3) untuk mengosongkan kota Bandung pada tanggal 24 Maret 1946, TRI dan pejuang lainnya enggan menyerahkan kota Bandung secara utuh. Karena itu setelah mengungsikan penduduk, mereka membakar kota Bandung. Sehingga dimana-mana asap hitam mengepul membumbung tinggi ke udara mengiringi rombongan besar penduduk Bandung yang mengalir panjang meninggalkan kota Bandung. Puncaknya adalah pembakaran yang mengakibatkan ledakan besar di gudang amunisi milik tentara Sekutu yang dilakukan Mohammad Toha dan Mohammad Ramdan, dua anggota milisi barisan Rakyat Indonesia (BRI). Tugas yang berhasil dieksekusi dengan baik oleh Mohammad Toha sekaligus menyebabkan dirinya dan Mohammad Ramdan meninggal dalam ledakan dan kebakaran gudang tersebut. Ketika api membumbung tinggi sejak pukul 21.00 Bandung Selatan telah kosong dari penduduk dan TRI. Bandungpun menjadi lautan api. Suatu strategi jitu karena kekuatan TRI dan rakyat tidak sebanding dengan pihak Sekutu dan Nica yang berjumlah besar. Sekian puluh tahun berselang, setiap tahun penduduk Bandung selalu memperingati peristiwa tersebut. Peristiwa ketika Bandung menjadi Lautan Api dan menorehkan satu nama yang amat berjasa karena tindakan heroiknya mampu meledakkan pusat amunisi tentara Sekutu. Nama itu, Mohammad Toha hingga kini menjadi perdebatan dan pengajuannya sebagai pahlawan nasional ditolak Badan Pembina pahlawan Pusat dengan alasan perjuangannya bersifat sumir dan data perjuangannya kurang jelas. Lahir pada tahun 1927 di jalan Banceuy Suniaraja kota Bandung, dari suami istri Suganda dan Nariah yang berasal dari Kedunghalang, Bogor. Mohammad Toha kecil menjadi piatu karena ayahnya meninggal dunia pada tahun 1929. Ibunya menikah lagi dengan Sugandi, adik ayahnya (pamannya) untuk kemudian bercerai dan menitipkan Mohammad Toha pada asuhan kedua kakek neneknya, Jahiri dan Oneng. Mohammad Toha mulai menginjak bangku di Sekolah Rakyat pada usia 7 tahun dan terpaksa keluar pada kelas 4. Karir keprajuritan dimulai ketika zaman Jepang Mohammad Toha memasuki Seinendan. Sehari-hari Toha juga membantu kakeknya di Biro Sunda, kemudian bekerja di bengkel motor di Cikudapateuh. Selanjutnya Toha belajar menjadi montir mobil dan bekerja di bengkel kendaraan militer Jepang sehingga ia mampu berbahasa Jepang. Sesudah kemerdekaan, Mohamad Toha bergabung dengan Barisan Rakyat Indonesia (BRI) yang dipimpin oleh Ben Alamsyah, paman Toha. BRI kemudian bergabung dengan Barisan Pelopor pimpinan Anwar Sutan Pamuncak dan berubah nama menjadi Barisan Banteng Republik Indonesia (BBRI). Mohammad Toha duduk sebagai Komandan Seksi 1 Bagian Penggempur di BBRI. Menurut paman Toha, Ben Alamsyah, beberapa kerabat, serta Komandannya di BBRI : “Mohammad Toha seorang yang cerdas, patuh pada orang tua, memiliki disiplin tinggi dan berhubungan baik dengan rekan-rekannya. Setiap peserta napak tilas Bandung Lautan Api bisa melihat monumen berupa patung dada Mohammad Toha di daerah Dayeuhkolot dimana terdapat kolam yang semula merupakan lubang bekas ledakan. Selain itu juga terdapat monumen menjulang tinggi berbentuk lidah-lidah api dengan tentara terperangkap dalam kobarannya. Mohammad Toha mendapat penghargaan Bintang Mahaputra Pratama atas jasanya. Aksi heroiknya memang seharusnya tidak terlepas dari peringatan Bandung Lautan Api. Seperti halnya lagu Hallo Hallo Bandung yang senantiasa dilantunkan sebagai lagu mars peserta napak tilas mengenang eksekusi besar-besaran penduduk keluar Bandung. Tapi bukan pamrih yang diharapkan seorang pejuang. Dia mengerjakan sebagai suatu kebenaran bagi kebesaran bangsa. Kriteria kepahlawanan boleh ditentukan Anhar Gonggong yaitu manusia yang telah melampaui dirinya dan bekerja untuk bangsanya. Tetapi Mohammad Toha sebagai manusia yang berdedikasi tinggi bagi bangsa dan Negara, sebagai bagian dari bangsa yang enggan menyerah pada kekuatan asing maka walau nyawa menjadi taruhannya maka dia tidak akan surut. Bukan demi selembar penghargaan tapi demi martabat bangsa. **Maria Hardayanto** Sumber : Pahlawan Sunda Mohammad Toha Bandung Lautan Api sumber foto : wikipedia dan komunitas Aleut

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/mariahardayanto/mohammad-toha-pahlawan-bandung-lautan-api_551905eaa33311bc13b65946
“Pahlawan adalah mereka yang telah melampaui dirinya, mau bekerja untuk kebesaran bangsanya dan bekerja keras untuk orang lain” (Anhar Gonggong – Sejarawan Universitas Indonesia) Setiap tanggal 24 Maret masyarakat kota Bandung memperingati Bandung Lautan api dalam bentuk napak tilas dari satu titik yang ditentukan panitia, menuju Bandung Selatan dan masuk kembali ke pusat kota Bandung. Sewaktu kuliah beberapa kali penulis mengikuti even ini, dan diteruskan oleh anak-anak karena mereka mendapat tugas dari gurunya. Tetapi kami (penulis dan anak-anak) tidak pernah mampu menyelesaikan target long march. Gugur dan naik angkutan umum pulang ke rumah ^_^ Berat memang perjalanan yang harus ditempuh. Terbayang di tahun 1946 penduduk Bandung harus berjalan keluar Bandung karena kota Bandung di bumihanguskan. Berjalan dalam gulita dengan bekal seadanya, ketakutan karena bunyi ledakan serta kebakaran yang menimbulkan suasana mencekam. Semuanya berawal dari ultimatum tentara sekutu untuk mengosongkan kota Bandung Selatan sesudah mereka merebut Bandung Utara. Tujuannya untuk dijadikan markas strategis militer. Keputusan diambil Kolonel Abdoel Haris Nasoetion selaku Komandan Divisi III Tentara Republik Indonesia (TRI) melalui musyawarah Madjelis Persatoean Perdjoeangan Priangan (MP3) untuk mengosongkan kota Bandung pada tanggal 24 Maret 1946, TRI dan pejuang lainnya enggan menyerahkan kota Bandung secara utuh. Karena itu setelah mengungsikan penduduk, mereka membakar kota Bandung. Sehingga dimana-mana asap hitam mengepul membumbung tinggi ke udara mengiringi rombongan besar penduduk Bandung yang mengalir panjang meninggalkan kota Bandung. Puncaknya adalah pembakaran yang mengakibatkan ledakan besar di gudang amunisi milik tentara Sekutu yang dilakukan Mohammad Toha dan Mohammad Ramdan, dua anggota milisi barisan Rakyat Indonesia (BRI). Tugas yang berhasil dieksekusi dengan baik oleh Mohammad Toha sekaligus menyebabkan dirinya dan Mohammad Ramdan meninggal dalam ledakan dan kebakaran gudang tersebut. Ketika api membumbung tinggi sejak pukul 21.00 Bandung Selatan telah kosong dari penduduk dan TRI. Bandungpun menjadi lautan api. Suatu strategi jitu karena kekuatan TRI dan rakyat tidak sebanding dengan pihak Sekutu dan Nica yang berjumlah besar. Sekian puluh tahun berselang, setiap tahun penduduk Bandung selalu memperingati peristiwa tersebut. Peristiwa ketika Bandung menjadi Lautan Api dan menorehkan satu nama yang amat berjasa karena tindakan heroiknya mampu meledakkan pusat amunisi tentara Sekutu. Nama itu, Mohammad Toha hingga kini menjadi perdebatan dan pengajuannya sebagai pahlawan nasional ditolak Badan Pembina pahlawan Pusat dengan alasan perjuangannya bersifat sumir dan data perjuangannya kurang jelas. Lahir pada tahun 1927 di jalan Banceuy Suniaraja kota Bandung, dari suami istri Suganda dan Nariah yang berasal dari Kedunghalang, Bogor. Mohammad Toha kecil menjadi piatu karena ayahnya meninggal dunia pada tahun 1929. Ibunya menikah lagi dengan Sugandi, adik ayahnya (pamannya) untuk kemudian bercerai dan menitipkan Mohammad Toha pada asuhan kedua kakek neneknya, Jahiri dan Oneng. Mohammad Toha mulai menginjak bangku di Sekolah Rakyat pada usia 7 tahun dan terpaksa keluar pada kelas 4. Karir keprajuritan dimulai ketika zaman Jepang Mohammad Toha memasuki Seinendan. Sehari-hari Toha juga membantu kakeknya di Biro Sunda, kemudian bekerja di bengkel motor di Cikudapateuh. Selanjutnya Toha belajar menjadi montir mobil dan bekerja di bengkel kendaraan militer Jepang sehingga ia mampu berbahasa Jepang. Sesudah kemerdekaan, Mohamad Toha bergabung dengan Barisan Rakyat Indonesia (BRI) yang dipimpin oleh Ben Alamsyah, paman Toha. BRI kemudian bergabung dengan Barisan Pelopor pimpinan Anwar Sutan Pamuncak dan berubah nama menjadi Barisan Banteng Republik Indonesia (BBRI). Mohammad Toha duduk sebagai Komandan Seksi 1 Bagian Penggempur di BBRI. Menurut paman Toha, Ben Alamsyah, beberapa kerabat, serta Komandannya di BBRI : “Mohammad Toha seorang yang cerdas, patuh pada orang tua, memiliki disiplin tinggi dan berhubungan baik dengan rekan-rekannya. Setiap peserta napak tilas Bandung Lautan Api bisa melihat monumen berupa patung dada Mohammad Toha di daerah Dayeuhkolot dimana terdapat kolam yang semula merupakan lubang bekas ledakan. Selain itu juga terdapat monumen menjulang tinggi berbentuk lidah-lidah api dengan tentara terperangkap dalam kobarannya. Mohammad Toha mendapat penghargaan Bintang Mahaputra Pratama atas jasanya. Aksi heroiknya memang seharusnya tidak terlepas dari peringatan Bandung Lautan Api. Seperti halnya lagu Hallo Hallo Bandung yang senantiasa dilantunkan sebagai lagu mars peserta napak tilas mengenang eksekusi besar-besaran penduduk keluar Bandung. Tapi bukan pamrih yang diharapkan seorang pejuang. Dia mengerjakan sebagai suatu kebenaran bagi kebesaran bangsa. Kriteria kepahlawanan boleh ditentukan Anhar Gonggong yaitu manusia yang telah melampaui dirinya dan bekerja untuk bangsanya. Tetapi Mohammad Toha sebagai manusia yang berdedikasi tinggi bagi bangsa dan Negara, sebagai bagian dari bangsa yang enggan menyerah pada kekuatan asing maka walau nyawa menjadi taruhannya maka dia tidak akan surut. Bukan demi selembar penghargaan tapi demi martabat bangsa. **Maria Hardayanto** Sumber : Pahlawan Sunda Mohammad Toha Bandung Lautan Api sumber foto : wikipedia dan komunitas Aleut

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/mariahardayanto/mohammad-toha-pahlawan-bandung-lautan-api_551905eaa33311bc13b65946
“Pahlawan adalah mereka yang telah melampaui dirinya, mau bekerja untuk kebesaran bangsanya dan bekerja keras untuk orang lain” (Anhar Gonggong – Sejarawan Universitas Indonesia) Setiap tanggal 24 Maret masyarakat kota Bandung memperingati Bandung Lautan api dalam bentuk napak tilas dari satu titik yang ditentukan panitia, menuju Bandung Selatan dan masuk kembali ke pusat kota Bandung. Sewaktu kuliah beberapa kali penulis mengikuti even ini, dan diteruskan oleh anak-anak karena mereka mendapat tugas dari gurunya. Tetapi kami (penulis dan anak-anak) tidak pernah mampu menyelesaikan target long march. Gugur dan naik angkutan umum pulang ke rumah ^_^ Berat memang perjalanan yang harus ditempuh. Terbayang di tahun 1946 penduduk Bandung harus berjalan keluar Bandung karena kota Bandung di bumihanguskan. Berjalan dalam gulita dengan bekal seadanya, ketakutan karena bunyi ledakan serta kebakaran yang menimbulkan suasana mencekam. Semuanya berawal dari ultimatum tentara sekutu untuk mengosongkan kota Bandung Selatan sesudah mereka merebut Bandung Utara. Tujuannya untuk dijadikan markas strategis militer. Keputusan diambil Kolonel Abdoel Haris Nasoetion selaku Komandan Divisi III Tentara Republik Indonesia (TRI) melalui musyawarah Madjelis Persatoean Perdjoeangan Priangan (MP3) untuk mengosongkan kota Bandung pada tanggal 24 Maret 1946, TRI dan pejuang lainnya enggan menyerahkan kota Bandung secara utuh. Karena itu setelah mengungsikan penduduk, mereka membakar kota Bandung. Sehingga dimana-mana asap hitam mengepul membumbung tinggi ke udara mengiringi rombongan besar penduduk Bandung yang mengalir panjang meninggalkan kota Bandung. Puncaknya adalah pembakaran yang mengakibatkan ledakan besar di gudang amunisi milik tentara Sekutu yang dilakukan Mohammad Toha dan Mohammad Ramdan, dua anggota milisi barisan Rakyat Indonesia (BRI). Tugas yang berhasil dieksekusi dengan baik oleh Mohammad Toha sekaligus menyebabkan dirinya dan Mohammad Ramdan meninggal dalam ledakan dan kebakaran gudang tersebut. Ketika api membumbung tinggi sejak pukul 21.00 Bandung Selatan telah kosong dari penduduk dan TRI. Bandungpun menjadi lautan api. Suatu strategi jitu karena kekuatan TRI dan rakyat tidak sebanding dengan pihak Sekutu dan Nica yang berjumlah besar. Sekian puluh tahun berselang, setiap tahun penduduk Bandung selalu memperingati peristiwa tersebut. Peristiwa ketika Bandung menjadi Lautan Api dan menorehkan satu nama yang amat berjasa karena tindakan heroiknya mampu meledakkan pusat amunisi tentara Sekutu. Nama itu, Mohammad Toha hingga kini menjadi perdebatan dan pengajuannya sebagai pahlawan nasional ditolak Badan Pembina pahlawan Pusat dengan alasan perjuangannya bersifat sumir dan data perjuangannya kurang jelas. Lahir pada tahun 1927 di jalan Banceuy Suniaraja kota Bandung, dari suami istri Suganda dan Nariah yang berasal dari Kedunghalang, Bogor. Mohammad Toha kecil menjadi piatu karena ayahnya meninggal dunia pada tahun 1929. Ibunya menikah lagi dengan Sugandi, adik ayahnya (pamannya) untuk kemudian bercerai dan menitipkan Mohammad Toha pada asuhan kedua kakek neneknya, Jahiri dan Oneng. Mohammad Toha mulai menginjak bangku di Sekolah Rakyat pada usia 7 tahun dan terpaksa keluar pada kelas 4. Karir keprajuritan dimulai ketika zaman Jepang Mohammad Toha memasuki Seinendan. Sehari-hari Toha juga membantu kakeknya di Biro Sunda, kemudian bekerja di bengkel motor di Cikudapateuh. Selanjutnya Toha belajar menjadi montir mobil dan bekerja di bengkel kendaraan militer Jepang sehingga ia mampu berbahasa Jepang. Sesudah kemerdekaan, Mohamad Toha bergabung dengan Barisan Rakyat Indonesia (BRI) yang dipimpin oleh Ben Alamsyah, paman Toha. BRI kemudian bergabung dengan Barisan Pelopor pimpinan Anwar Sutan Pamuncak dan berubah nama menjadi Barisan Banteng Republik Indonesia (BBRI). Mohammad Toha duduk sebagai Komandan Seksi 1 Bagian Penggempur di BBRI. Menurut paman Toha, Ben Alamsyah, beberapa kerabat, serta Komandannya di BBRI : “Mohammad Toha seorang yang cerdas, patuh pada orang tua, memiliki disiplin tinggi dan berhubungan baik dengan rekan-rekannya. Setiap peserta napak tilas Bandung Lautan Api bisa melihat monumen berupa patung dada Mohammad Toha di daerah Dayeuhkolot dimana terdapat kolam yang semula merupakan lubang bekas ledakan. Selain itu juga terdapat monumen menjulang tinggi berbentuk lidah-lidah api dengan tentara terperangkap dalam kobarannya. Mohammad Toha mendapat penghargaan Bintang Mahaputra Pratama atas jasanya. Aksi heroiknya memang seharusnya tidak terlepas dari peringatan Bandung Lautan Api. Seperti halnya lagu Hallo Hallo Bandung yang senantiasa dilantunkan sebagai lagu mars peserta napak tilas mengenang eksekusi besar-besaran penduduk keluar Bandung. Tapi bukan pamrih yang diharapkan seorang pejuang. Dia mengerjakan sebagai suatu kebenaran bagi kebesaran bangsa. Kriteria kepahlawanan boleh ditentukan Anhar Gonggong yaitu manusia yang telah melampaui dirinya dan bekerja untuk bangsanya. Tetapi Mohammad Toha sebagai manusia yang berdedikasi tinggi bagi bangsa dan Negara, sebagai bagian dari bangsa yang enggan menyerah pada kekuatan asing maka walau nyawa menjadi taruhannya maka dia tidak akan surut. Bukan demi selembar penghargaan tapi demi martabat bangsa. **Maria Hardayanto** Sumber : Pahlawan Sunda Mohammad Toha Bandung Lautan Api sumber foto : wikipedia dan komunitas Aleut

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/mariahardayanto/mohammad-toha-pahlawan-bandung-lautan-api_551905eaa33311bc13b65946
“Pahlawan adalah mereka yang telah melampaui dirinya, mau bekerja untuk kebesaran bangsanya dan bekerja keras untuk orang lain” (Anhar Gonggong – Sejarawan Universitas Indonesia) Setiap tanggal 24 Maret masyarakat kota Bandung memperingati Bandung Lautan api dalam bentuk napak tilas dari satu titik yang ditentukan panitia, menuju Bandung Selatan dan masuk kembali ke pusat kota Bandung. Sewaktu kuliah beberapa kali penulis mengikuti even ini, dan diteruskan oleh anak-anak karena mereka mendapat tugas dari gurunya. Tetapi kami (penulis dan anak-anak) tidak pernah mampu menyelesaikan target long march. Gugur dan naik angkutan umum pulang ke rumah ^_^ Berat memang perjalanan yang harus ditempuh. Terbayang di tahun 1946 penduduk Bandung harus berjalan keluar Bandung karena kota Bandung di bumihanguskan. Berjalan dalam gulita dengan bekal seadanya, ketakutan karena bunyi ledakan serta kebakaran yang menimbulkan suasana mencekam. Semuanya berawal dari ultimatum tentara sekutu untuk mengosongkan kota Bandung Selatan sesudah mereka merebut Bandung Utara. Tujuannya untuk dijadikan markas strategis militer. Keputusan diambil Kolonel Abdoel Haris Nasoetion selaku Komandan Divisi III Tentara Republik Indonesia (TRI) melalui musyawarah Madjelis Persatoean Perdjoeangan Priangan (MP3) untuk mengosongkan kota Bandung pada tanggal 24 Maret 1946, TRI dan pejuang lainnya enggan menyerahkan kota Bandung secara utuh. Karena itu setelah mengungsikan penduduk, mereka membakar kota Bandung. Sehingga dimana-mana asap hitam mengepul membumbung tinggi ke udara mengiringi rombongan besar penduduk Bandung yang mengalir panjang meninggalkan kota Bandung. Puncaknya adalah pembakaran yang mengakibatkan ledakan besar di gudang amunisi milik tentara Sekutu yang dilakukan Mohammad Toha dan Mohammad Ramdan, dua anggota milisi barisan Rakyat Indonesia (BRI). Tugas yang berhasil dieksekusi dengan baik oleh Mohammad Toha sekaligus menyebabkan dirinya dan Mohammad Ramdan meninggal dalam ledakan dan kebakaran gudang tersebut. Ketika api membumbung tinggi sejak pukul 21.00 Bandung Selatan telah kosong dari penduduk dan TRI. Bandungpun menjadi lautan api. Suatu strategi jitu karena kekuatan TRI dan rakyat tidak sebanding dengan pihak Sekutu dan Nica yang berjumlah besar. Sekian puluh tahun berselang, setiap tahun penduduk Bandung selalu memperingati peristiwa tersebut. Peristiwa ketika Bandung menjadi Lautan Api dan menorehkan satu nama yang amat berjasa karena tindakan heroiknya mampu meledakkan pusat amunisi tentara Sekutu. Nama itu, Mohammad Toha hingga kini menjadi perdebatan dan pengajuannya sebagai pahlawan nasional ditolak Badan Pembina pahlawan Pusat dengan alasan perjuangannya bersifat sumir dan data perjuangannya kurang jelas. Lahir pada tahun 1927 di jalan Banceuy Suniaraja kota Bandung, dari suami istri Suganda dan Nariah yang berasal dari Kedunghalang, Bogor. Mohammad Toha kecil menjadi piatu karena ayahnya meninggal dunia pada tahun 1929. Ibunya menikah lagi dengan Sugandi, adik ayahnya (pamannya) untuk kemudian bercerai dan menitipkan Mohammad Toha pada asuhan kedua kakek neneknya, Jahiri dan Oneng. Mohammad Toha mulai menginjak bangku di Sekolah Rakyat pada usia 7 tahun dan terpaksa keluar pada kelas 4. Karir keprajuritan dimulai ketika zaman Jepang Mohammad Toha memasuki Seinendan. Sehari-hari Toha juga membantu kakeknya di Biro Sunda, kemudian bekerja di bengkel motor di Cikudapateuh. Selanjutnya Toha belajar menjadi montir mobil dan bekerja di bengkel kendaraan militer Jepang sehingga ia mampu berbahasa Jepang. Sesudah kemerdekaan, Mohamad Toha bergabung dengan Barisan Rakyat Indonesia (BRI) yang dipimpin oleh Ben Alamsyah, paman Toha. BRI kemudian bergabung dengan Barisan Pelopor pimpinan Anwar Sutan Pamuncak dan berubah nama menjadi Barisan Banteng Republik Indonesia (BBRI). Mohammad Toha duduk sebagai Komandan Seksi 1 Bagian Penggempur di BBRI. Menurut paman Toha, Ben Alamsyah, beberapa kerabat, serta Komandannya di BBRI : “Mohammad Toha seorang yang cerdas, patuh pada orang tua, memiliki disiplin tinggi dan berhubungan baik dengan rekan-rekannya. Setiap peserta napak tilas Bandung Lautan Api bisa melihat monumen berupa patung dada Mohammad Toha di daerah Dayeuhkolot dimana terdapat kolam yang semula merupakan lubang bekas ledakan. Selain itu juga terdapat monumen menjulang tinggi berbentuk lidah-lidah api dengan tentara terperangkap dalam kobarannya. Mohammad Toha mendapat penghargaan Bintang Mahaputra Pratama atas jasanya. Aksi heroiknya memang seharusnya tidak terlepas dari peringatan Bandung Lautan Api. Seperti halnya lagu Hallo Hallo Bandung yang senantiasa dilantunkan sebagai lagu mars peserta napak tilas mengenang eksekusi besar-besaran penduduk keluar Bandung. Tapi bukan pamrih yang diharapkan seorang pejuang. Dia mengerjakan sebagai suatu kebenaran bagi kebesaran bangsa. Kriteria kepahlawanan boleh ditentukan Anhar Gonggong yaitu manusia yang telah melampaui dirinya dan bekerja untuk bangsanya. Tetapi Mohammad Toha sebagai manusia yang berdedikasi tinggi bagi bangsa dan Negara, sebagai bagian dari bangsa yang enggan menyerah pada kekuatan asing maka walau nyawa menjadi taruhannya maka dia tidak akan surut. Bukan demi selembar penghargaan tapi demi martabat bangsa. **Maria Hardayanto** Sumber : Pahlawan Sunda Mohammad Toha Bandung Lautan Api sumber foto : wikipedia dan komunitas Aleut

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/mariahardayanto/mohammad-toha-pahlawan-bandung-lautan-api_551905eaa33311bc13b65946Ssss
“Pahlawan adalah mereka yang telah melampaui dirinya, mau bekerja untuk kebesaran bangsanya dan bekerja keras untuk orang lain” (Anhar Gonggong – Sejarawan Universitas Indonesia) Setiap tanggal 24 Maret masyarakat kota Bandung memperingati Bandung Lautan api dalam bentuk napak tilas dari satu titik yang ditentukan panitia, menuju Bandung Selatan dan masuk kembali ke pusat kota Bandung. Sewaktu kuliah beberapa kali penulis mengikuti even ini, dan diteruskan oleh anak-anak karena mereka mendapat tugas dari gurunya. Tetapi kami (penulis dan anak-anak) tidak pernah mampu menyelesaikan target long march. Gugur dan naik angkutan umum pulang ke rumah ^_^ Berat memang perjalanan yang harus ditempuh. Terbayang di tahun 1946 penduduk Bandung harus berjalan keluar Bandung karena kota Bandung di bumihanguskan. Berjalan dalam gulita dengan bekal seadanya, ketakutan karena bunyi ledakan serta kebakaran yang menimbulkan suasana mencekam. Semuanya berawal dari ultimatum tentara sekutu untuk mengosongkan kota Bandung Selatan sesudah mereka merebut Bandung Utara. Tujuannya untuk dijadikan markas strategis militer. Keputusan diambil Kolonel Abdoel Haris Nasoetion selaku Komandan Divisi III Tentara Republik Indonesia (TRI) melalui musyawarah Madjelis Persatoean Perdjoeangan Priangan (MP3) untuk mengosongkan kota Bandung pada tanggal 24 Maret 1946, TRI dan pejuang lainnya enggan menyerahkan kota Bandung secara utuh. Karena itu setelah mengungsikan penduduk, mereka membakar kota Bandung. Sehingga dimana-mana asap hitam mengepul membumbung tinggi ke udara mengiringi rombongan besar penduduk Bandung yang mengalir panjang meninggalkan kota Bandung. Puncaknya adalah pembakaran yang mengakibatkan ledakan besar di gudang amunisi milik tentara Sekutu yang dilakukan Mohammad Toha dan Mohammad Ramdan, dua anggota milisi barisan Rakyat Indonesia (BRI). Tugas yang berhasil dieksekusi dengan baik oleh Mohammad Toha sekaligus menyebabkan dirinya dan Mohammad Ramdan meninggal dalam ledakan dan kebakaran gudang tersebut. Ketika api membumbung tinggi sejak pukul 21.00 Bandung Selatan telah kosong dari penduduk dan TRI. Bandungpun menjadi lautan api. Suatu strategi jitu karena kekuatan TRI dan rakyat tidak sebanding dengan pihak Sekutu dan Nica yang berjumlah besar. Sekian puluh tahun berselang, setiap tahun penduduk Bandung selalu memperingati peristiwa tersebut. Peristiwa ketika Bandung menjadi Lautan Api dan menorehkan satu nama yang amat berjasa karena tindakan heroiknya mampu meledakkan pusat amunisi tentara Sekutu. Nama itu, Mohammad Toha hingga kini menjadi perdebatan dan pengajuannya sebagai pahlawan nasional ditolak Badan Pembina pahlawan Pusat dengan alasan perjuangannya bersifat sumir dan data perjuangannya kurang jelas. Lahir pada tahun 1927 di jalan Banceuy Suniaraja kota Bandung, dari suami istri Suganda dan Nariah yang berasal dari Kedunghalang, Bogor. Mohammad Toha kecil menjadi piatu karena ayahnya meninggal dunia pada tahun 1929. Ibunya menikah lagi dengan Sugandi, adik ayahnya (pamannya) untuk kemudian bercerai dan menitipkan Mohammad Toha pada asuhan kedua kakek neneknya, Jahiri dan Oneng. Mohammad Toha mulai menginjak bangku di Sekolah Rakyat pada usia 7 tahun dan terpaksa keluar pada kelas 4. Karir keprajuritan dimulai ketika zaman Jepang Mohammad Toha memasuki Seinendan. Sehari-hari Toha juga membantu kakeknya di Biro Sunda, kemudian bekerja di bengkel motor di Cikudapateuh. Selanjutnya Toha belajar menjadi montir mobil dan bekerja di bengkel kendaraan militer Jepang sehingga ia mampu berbahasa Jepang. Sesudah kemerdekaan, Mohamad Toha bergabung dengan Barisan Rakyat Indonesia (BRI) yang dipimpin oleh Ben Alamsyah, paman Toha. BRI kemudian bergabung dengan Barisan Pelopor pimpinan Anwar Sutan Pamuncak dan berubah nama menjadi Barisan Banteng Republik Indonesia (BBRI). Mohammad Toha duduk sebagai Komandan Seksi 1 Bagian Penggempur di BBRI. Menurut paman Toha, Ben Alamsyah, beberapa kerabat, serta Komandannya di BBRI : “Mohammad Toha seorang yang cerdas, patuh pada orang tua, memiliki disiplin tinggi dan berhubungan baik dengan rekan-rekannya. Setiap peserta napak tilas Bandung Lautan Api bisa melihat monumen berupa patung dada Mohammad Toha di daerah Dayeuhkolot dimana terdapat kolam yang semula merupakan lubang bekas ledakan. Selain itu juga terdapat monumen menjulang tinggi berbentuk lidah-lidah api dengan tentara terperangkap dalam kobarannya. Mohammad Toha mendapat penghargaan Bintang Mahaputra Pratama atas jasanya. Aksi heroiknya memang seharusnya tidak terlepas dari peringatan Bandung Lautan Api. Seperti halnya lagu Hallo Hallo Bandung yang senantiasa dilantunkan sebagai lagu mars peserta napak tilas mengenang eksekusi besar-besaran penduduk keluar Bandung. Tapi bukan pamrih yang diharapkan seorang pejuang. Dia mengerjakan sebagai suatu kebenaran bagi kebesaran bangsa. Kriteria kepahlawanan boleh ditentukan Anhar Gonggong yaitu manusia yang telah melampaui dirinya dan bekerja untuk bangsanya. Tetapi Mohammad Toha sebagai manusia yang berdedikasi tinggi bagi bangsa dan Negara, sebagai bagian dari bangsa yang enggan menyerah pada kekuatan asing maka walau nyawa menjadi taruhannya maka dia tidak akan surut. Bukan demi selembar penghargaan tapi demi martabat bangsa. **Maria Hardayanto** Sumber : Pahlawan Sunda Mohammad Toha Bandung Lautan Api sumber foto : wikipedia dan komunitas Aleut

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/mariahardayanto/mohammad-toha-pahlawan-bandung-lautan-api_551905eaa33311bc13b65946
“Pahlawan adalah mereka yang telah melampaui dirinya, mau bekerja untuk kebesaran bangsanya dan bekerja keras untuk orang lain” (Anhar Gonggong – Sejarawan Universitas Indonesia) Setiap tanggal 24 Maret masyarakat kota Bandung memperingati Bandung Lautan api dalam bentuk napak tilas dari satu titik yang ditentukan panitia, menuju Bandung Selatan dan masuk kembali ke pusat kota Bandung. Sewaktu kuliah beberapa kali penulis mengikuti even ini, dan diteruskan oleh anak-anak karena mereka mendapat tugas dari gurunya. Tetapi kami (penulis dan anak-anak) tidak pernah mampu menyelesaikan target long march. Gugur dan naik angkutan umum pulang ke rumah ^_^ Berat memang perjalanan yang harus ditempuh. Terbayang di tahun 1946 penduduk Bandung harus berjalan keluar Bandung karena kota Bandung di bumihanguskan. Berjalan dalam gulita dengan bekal seadanya, ketakutan karena bunyi ledakan serta kebakaran yang menimbulkan suasana mencekam. Semuanya berawal dari ultimatum tentara sekutu untuk mengosongkan kota Bandung Selatan sesudah mereka merebut Bandung Utara. Tujuannya untuk dijadikan markas strategis militer. Keputusan diambil Kolonel Abdoel Haris Nasoetion selaku Komandan Divisi III Tentara Republik Indonesia (TRI) melalui musyawarah Madjelis Persatoean Perdjoeangan Priangan (MP3) untuk mengosongkan kota Bandung pada tanggal 24 Maret 1946, TRI dan pejuang lainnya enggan menyerahkan kota Bandung secara utuh. Karena itu setelah mengungsikan penduduk, mereka membakar kota Bandung. Sehingga dimana-mana asap hitam mengepul membumbung tinggi ke udara mengiringi rombongan besar penduduk Bandung yang mengalir panjang meninggalkan kota Bandung. Puncaknya adalah pembakaran yang mengakibatkan ledakan besar di gudang amunisi milik tentara Sekutu yang dilakukan Mohammad Toha dan Mohammad Ramdan, dua anggota milisi barisan Rakyat Indonesia (BRI). Tugas yang berhasil dieksekusi dengan baik oleh Mohammad Toha sekaligus menyebabkan dirinya dan Mohammad Ramdan meninggal dalam ledakan dan kebakaran gudang tersebut. Ketika api membumbung tinggi sejak pukul 21.00 Bandung Selatan telah kosong dari penduduk dan TRI. Bandungpun menjadi lautan api. Suatu strategi jitu karena kekuatan TRI dan rakyat tidak sebanding dengan pihak Sekutu dan Nica yang berjumlah besar. Sekian puluh tahun berselang, setiap tahun penduduk Bandung selalu memperingati peristiwa tersebut. Peristiwa ketika Bandung menjadi Lautan Api dan menorehkan satu nama yang amat berjasa karena tindakan heroiknya mampu meledakkan pusat amunisi tentara Sekutu. Nama itu, Mohammad Toha hingga kini menjadi perdebatan dan pengajuannya sebagai pahlawan nasional ditolak Badan Pembina pahlawan Pusat dengan alasan perjuangannya bersifat sumir dan data perjuangannya kurang jelas. Lahir pada tahun 1927 di jalan Banceuy Suniaraja kota Bandung, dari suami istri Suganda dan Nariah yang berasal dari Kedunghalang, Bogor. Mohammad Toha kecil menjadi piatu karena ayahnya meninggal dunia pada tahun 1929. Ibunya menikah lagi dengan Sugandi, adik ayahnya (pamannya) untuk kemudian bercerai dan menitipkan Mohammad Toha pada asuhan kedua kakek neneknya, Jahiri dan Oneng. Mohammad Toha mulai menginjak bangku di Sekolah Rakyat pada usia 7 tahun dan terpaksa keluar pada kelas 4. Karir keprajuritan dimulai ketika zaman Jepang Mohammad Toha memasuki Seinendan. Sehari-hari Toha juga membantu kakeknya di Biro Sunda, kemudian bekerja di bengkel motor di Cikudapateuh. Selanjutnya Toha belajar menjadi montir mobil dan bekerja di bengkel kendaraan militer Jepang sehingga ia mampu berbahasa Jepang. Sesudah kemerdekaan, Mohamad Toha bergabung dengan Barisan Rakyat Indonesia (BRI) yang dipimpin oleh Ben Alamsyah, paman Toha. BRI kemudian bergabung dengan Barisan Pelopor pimpinan Anwar Sutan Pamuncak dan berubah nama menjadi Barisan Banteng Republik Indonesia (BBRI). Mohammad Toha duduk sebagai Komandan Seksi 1 Bagian Penggempur di BBRI. Menurut paman Toha, Ben Alamsyah, beberapa kerabat, serta Komandannya di BBRI : “Mohammad Toha seorang yang cerdas, patuh pada orang tua, memiliki disiplin tinggi dan berhubungan baik dengan rekan-rekannya. Setiap peserta napak tilas Bandung Lautan Api bisa melihat monumen berupa patung dada Mohammad Toha di daerah Dayeuhkolot dimana terdapat kolam yang semula merupakan lubang bekas ledakan. Selain itu juga terdapat monumen menjulang tinggi berbentuk lidah-lidah api dengan tentara terperangkap dalam kobarannya. Mohammad Toha mendapat penghargaan Bintang Mahaputra Pratama atas jasanya. Aksi heroiknya memang seharusnya tidak terlepas dari peringatan Bandung Lautan Api. Seperti halnya lagu Hallo Hallo Bandung yang senantiasa dilantunkan sebagai lagu mars peserta napak tilas mengenang eksekusi besar-besaran penduduk keluar Bandung. Tapi bukan pamrih yang diharapkan seorang pejuang. Dia mengerjakan sebagai suatu kebenaran bagi kebesaran bangsa. Kriteria kepahlawanan boleh ditentukan Anhar Gonggong yaitu manusia yang telah melampaui dirinya dan bekerja untuk bangsanya. Tetapi Mohammad Toha sebagai manusia yang berdedikasi tinggi bagi bangsa dan Negara, sebagai bagian dari bangsa yang enggan menyerah pada kekuatan asing maka walau nyawa menjadi taruhannya maka dia tidak akan surut. Bukan demi selembar penghargaan tapi demi martabat bangsa. **Maria Hardayanto** Sumber : Pahlawan Sunda Mohammad Toha Bandung Lautan Api sumber foto : wikipedia dan komunitas Aleut

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/mariahardayanto/mohammad-toha-pahlawan-bandung-lautan-api_551905eaa33311bc13b65946

Penemu Jaringan 4G LTE

Penemu LTE Jaringan 4G Orang Indonesia, tapi kok ?

Adalah Prof. Dr. Khoirul Anwar, yang menemukan dan sekaligus pemilik paten teknologi 4G berbasis OFDM (Orthogonal Frequency Division Multiplexing).

Khoirul Anwar adalah alumni Teknik Elektro ITB dengan cumlaude di tahun 2000, kemudian melanjutkan pendidikan di Nara Institute of Science and Technology (NAIST) dan memperoleh gelar master di tahun 2005 serta doktor di tahun 2008. Beliau juga penerima IEEE Best Student Paper Award of IEEE Radio and Wireless Symposium (RWS) tahun 2006, di California.

Penemuan teknologi 4G berbasis OFDM diawalinya dengan “ide nyeleneh” mengurangi daya transmisi untuk meningkatkan kecepatan transmisi data. Penurunan daya dilakukan hingga 5dB saja (100.000 = 10 pangkat 5 kali lebih kecil dari teknologi sebelumnya) dan hasilnya kecepatan transmisi meningkat.

Pada paten keduanya, Khorul Anwar kembali membuat dunia kagum, kali ini adalah menghapus sama sekali guard interval/GI, tentu saja ini malah membuat frekuensi yang berbeda akan bertabrakan, alih-alih menambah kecepatan. Namun, anak Indonesia asli asal Kediri ini mengkompensasi resiko tersebut dengan mengembangkan algoritma khusus di laboratorium, hasilnya interferensi tersebut dapat diatasi dengan unjuk kerja yang sama seperti sistem biasa dengan adanya GI.

Asisten Professor di JAIST ini masih terus mengasah kemampuannya. Meski berprestasi cemerlang di Jepang, Khorul Anwar menyimpan keinginan untuk kembali ke Indonesia jika telah menjadi salah satu tokoh terkemuka di bidang telekomunikasi.

Aneh ya bees, yang menemukan orang indonesia tapi jaringan 4G belum nyampe ketempat saya atau mungkin belum ada diindonesia..haduhhhhh

Moga aja secepatnya teknologi LTE(4G) sudah ada diindonesia ,yaaahh semoga saja ...#ragu